Jumat, 14 Oktober 2016

~ Sepi, aku sendiri ~

Sepi, aku sendiri
Memanggilmu juga percuma
Toh menolehpun kau tidak
Diam, pergi, sesukamu, semaumu
Tapi enyah pun enggan
Di tiap inci perasaan, kenangan datang
Bergelayut bayangan yang tinggal
Di kursi, kamar, lantai,
Hanya kenangan menyerbu kelam,
Lengang,
Masih sepi, dan aku sendiri


#OneDayOnePost

eL's

Kediri, 14 Oktober 2016

kita

Awalnya kita hanya sepasang diam yang beku. Tak pernah bersapa, senyumpun tak juga.

Sampai kita bertemu pada kata “ siapa namamu ” hingga bergeser di titik temu, yaitu : “ aku sayang padamu “.

Sejak awalnya, apa siapa bagaimana perlahan kita terjemahkan tiap sore. Lalu paginya kita menyeduh bergelas-gelas teh untuk teman diskusi tentang kita. Aku mengaduknya kau menambahkan gula.

Kita berbincang tentang hujan, tentang angin, tentang rindu, tentang senja, tentang kita.

Kita jatuh cinta pada kata yang terucap diujung fajar. Dan enggan bersudah saat senja berjajar.

Kita jatuh cinta pada kekuatan penyatuan yang belum terucap. Namun rasanya sudah merebak, sesak di dada.

Kita meraba-raba letak nyaman yang menuju muara kasih sayang. Sayangnya kita masih asik menjaga kata, menghindari kemelut yang memaksa keluar.

Tapi kita terlanjur menjatuh cintai kata-kata di awal.

Lalu akhirnya,

Kita adalah satu eratan jemari yang enggan terlepas. Detak yang beriringan. Api rindu yang enggan redup. Gemuruh riuh yang enggan terdiam. Dan pelukan yang enggan menjauh.

Kita jatuh cinta.

Dari sore ke sore , dari pagi ke pagi, kita masih saja kita. Terjaga tiap malam dan berjelaga bersama kata yang terurai lepas memenuhi ruang milik kita.

Menyumpah serapahi yang gagal digenggam. Menertawai nasib yang tak kunjung membaik. Lalu sesekali membasahi mulut dengan teh seduhan kita.

Tiba-tiba panggilanmu berganti “ sayang ” untukku, tapi kau masih malu.

Hanya saja telah ku baca bahasamu bersama gerak hatimu, kau mencintaiku. Begitu pula dengan ku, aku mencintaimu.

Kita melebur, melangit bersama, meletakkan mimpi yang tak kunjung didapat. Mengistirahatkan penat yang berat.

Jangan malu-malu lagi sayang, karena :

Kita akan hanya kita untuk selalu menjadi kita.

Kita akan hanya kita untuk angan atas nama kita.

Kita akan hanya kita untuk rasa yang disebut cinta.


#OneDayOnePost

eL's

Kediri, 14 Oktober 2016

Selasa, 11 Oktober 2016

NURIYAH

“ Nduk, reneo sebentar! Kerjaanmu iki piye to?!” Suara wanita lima puluh tiga tahun ini meneriaki anak perempuan yang sedang duduk di teras rumah, sembari meniliti jajanannya yang nyaris gosong semua di dapur.

“ Opo maneh se mak? Iso ku mung ngunu iku, gak trimo guwaken!” Sahut perempuan di teras kepada emaknya, lantas keluar rumah dan menaiki sepeda until warna merahnya.

“ oalah Nuuur Nur. Cah kok gendeng!” Sahut wanita tua itu lagi sambil membawa tutup panci dan membantingnya ke halaman depan yang baru ditinggalkan anaknya.

**

Nuriyah. Jangan anda bayangkan dia seumuran mbak-mbak lulusan SMA yang menjadi seorang pembantu rumah tangga. Dia masih sangat belia, umurnya masih belasan tahun. Tepat dua tahun lalu dia lulus SMP.Seharusnya tahun ini dia sudah bisa mengurus KTP atau setidaknya duduk di bangku kelas 2 SMA seperti anak seusianya di Desa Bandaran ini.

Setelah acara lulusan SMPnya dua tahun lalu, dia tak punya banyak waktu main bersama Nisak, satu-satunya teman yang dia punya sejak kelas 4 SD. Hanya Nisak yang mau menjadi temannya semenjak dia pindah dari Kota dan menetap di desa kecil ini. Ayahnya menikah dengan janda beranak satu.

Karena Nisak sabahatnya itu mendaftar dan diterima di sekolah ternama di Kota. Nisak sekarang sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Nisak hanya pulang pada hari Sabtu sore, setelah mengikuti ekstrakulikuler Pramuka. Bahkan tak pulang sama sekali selama seminggu karena tugas kelompok yang harus selesai pada esok harinya.

Diusianya yang sekarang, Nuriyah tak pernah sesibuk dan seaktif Nisak. Dia pengangguran yang kelayapan di desa siang dan malam.Pulangnya jam setengah sepuluh malam hanya untuk tidur dan makan jika tersisa nasi di rumah.

Dia hanya akan sibuk jika ada orang yang mau menggunakan tenaganya untuk sekedar membawakan barang dari tempat ke tempat. Kemudian mendapat upah.Upahnya tak pernah lebih dari lima belas ribu.

Bahkan ada orang yang hanya memberinya sepiring nasi lengkap dengan lauk, sambal dan kerupuknya. Padahal orang itu hampir setiap hari menggunakan jasa Nuriyah untuk membawakan dagangan ke lapak miliknya.

Nuriyah selalu sarapan lauk hangat milik penjual pecel itu setiap pagi. Nuriyah tak pernah menolak apapun upah yang akan diterimanya. Dia bersyukur hanya penjual nasi pecel dekat jalan raya depan desa yang memberinya upah sepiring nasi.

Nur tak peduli lagi dengan masa depannya, jadi pengangguran sampai mati pun tak jadi pusing kepalanya. Dia hanya butuh orang untuk menikahi dirinya, lalu berniat ikut suaminya ke rumah yang baru. Dia tak betah lagi hidup bersama emak tirinya.

Namun sial benar Nuriyah ini. Sampai sekarang tak ada satupun lelaki desa yang mau mendekatinya. Karena orang sekampung bahkan anak-anak SD sekalipun tau bahwa Nuriyah sudah tak perawan. Kegadisannya direnggut oleh Ringgo, saudara tirinya yang lima bulan lalu mati gantung diri di pohon tepi sungai desa, karena ditinggal nikah pacarnya.

Setelah saudara tiri satu-satunya itu mati, dia hanya hidup bersama emak tirinya. Wanita berkepala lima itu bertubuh besar dan pendek, rambutnya kriting tak ada sebahu. Entah apa yang menarik perhatian bapaknya untuk mempersunting wanita ini.Sedangkan bapaknya bekerja sebagai ojek di Kota dan pulang hari Rabu dan Minggu saja.

Sebelumnya, tiga atau empat tahun lalu, bapak Nuriyah adalah bos utama di usaha pabrik krupuk yang digarap bersama istri pertamanya sejak Nuriyah belum lahir. Lalu usaha itu ludes karena ulah istri kedua yang dinikahinya 2 bulan setelah ibu kandung Nuriyah meninggal.

Istri keduanya ini tak hanya ingin cepat kaya, namun juga serakah ingin mengeruk semua harta yang masih disimpan oleh bapak Nuriyah. Harta itu peninggalan mendiang ibu Nuriyah yang dititipkan untuk anak semata wayangnya, sebelum kanker yang diderita merenggut seluruh hidupnya.

Saat awal hidup bersama emaknya itu Nuriyah tak sekasar sekarang. Nur merelakan bapaknya menikah lagi dengan wanita desa ini karena tak tega melihat bapaknya sedih setiap mengingat ibunya. Selain itu Nur tak berpikir akan berefek serius terhadap kehidupannya mendatang.

Nuriyah tak pernah betah meladeni emak tirinya yang sok mewah bak bangsawan kelas atas. Nur tak suka sifat serakah yang melekat pada emak Ringgo itu. Terlebih setelah wanita itu tak malu dan menyesal dengan kelakuan Ringgo terhadap diri Nur. Dan malah menuding Nur sebagai penyebab kematian putra semata wayangnya. Jika bisa, dia ingin mengutuk wanita sialan itu.

Nur hanya akan menuruti apa kata emak tirinya jika sedang ada maunya. Dia akan melakukan perintah emaknya jika sedang butuh sesuatu di rumah. Hanya sedekar mengambil celah lalu pergi semaunya. Selain itu perhitunganpun selalu dia lakukan setiap hari terhadap emak tirinya.

Dia akan membenci wanita itu seumur hidupnya. Dia tak memperdulikan apapun tentang kehidupan emaknya sekarang.

......

( bersambung dulu ya.. ini bayar hutang kemarin. InsyaAlloh nanti malam saya post lagi kelanjutan kisah Nuriyah ini hehe ;) .

Saya dapat inspirasi dari cerpen Kecu karya Bani Setia dalam Horison Sastra Indonesia 2 : Kitab Cerita Pendek.  Selamat membaca.)



#OneDayOnePost

eL’s

Kediri, 11 Okteober 2016

Jumat, 07 Oktober 2016

TBC TULANG BELAKANG, 2 TAHUN LALU

Sekitar dua tahun yang lalu ibu menjalani perawatan atas penyakitnya. Beliau tak sebugar sekarang. Daging yang ada di tangan dan kaki Beliau mengalami penyusutan berat. Beliau sangat kurus saat itu.

Saat ibu sakit saya masih duduk di kelas dua belas Aliyah. Sedangkan adekku kelas satu Aliyah, sementara mbakku semester 7 di UNESA ( Universitas Negri Surabaya ). Kami belum ada yang lulus saat itu. Jadi tidak bisa seharian menjaga ibu jika sudah waktunya masuk sekolah.

Hanya saja saat ibu mengalami masa paling kritis dalam siklus sakitnya, kami sedang libur semester dan sedang menjalani puasa Romadhon. Setidaknya kami masih bisa meluangkan waktu dengan ibu secara fulltime, walaupun hanya dalam beberapa minggu saja. Alhamdulillah.

Ibu awalnya mengalami sesak dada, lalu semakin hari rasa sakitnya menyebar ke bagian punggungnya. Membuat Beliau hanya mampu duduk di tepi kasur jika ingin makan dan minum. Itu saja Beliau lakukan dengan susah payah.

Saya lupa tepatnya hari apa hanya bulannya yang teringat, yaitu bulan Februari 2014. Saya sampai sekarang selalu merasa rugi karena tidak sempat mencacat semua hal tentang keadaan ibu. Benar-benar menyesal. Di bulan itu Gunung Kelud meletus dan ibu mengikuti bakti sosial dengan rekan-rekan Pramukanya.

Ibu memang aktif dalam kegiatan sosial semacam itu sebelum akhirnya tak berdaya dan drop. Beliau menahan rasa sakit yang sebenarnya sudah lama dirasa. Akibat dari nekadnya itu membawa dampak serius pada kelanjutan penyakit yang sedang Beliau simpan sendiri itu.

Karena tidak mau ambl resiko, ayah membawa ibu ke Rumah Sakit Umum Daerah Pare, Kediri. Awalnya ibu divonis mengalami penyakit paru-paru biasa saja oleh dokter. Namun setelah pulang dan tidak ada perkembangan, ibu lagi-lagi dilarikan ke Rumah Sakit Swasta yang juga berada di daerah Pare, Kediri.

Di rumah sakit itu kami sekeluarga menginap selama seminggu sebelum ibu dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Di rumah sakit swasta ini kami sekeluarga mengetahui bahwa ibu mengalami TBC tulang belakang.

Setelah mengurus semua administrasi yang diperlukan, kami sekeluarga membawa ibu ke Surabaya. Namun belum sampai mbakku selesai memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan kamar inap, ibu sudah tidak tahan karena terlalu lama di dalam mobil. Selain itu perut Beliau juga semakin membuncit karena kesulitan buang air kecil dan buang air besar.

Kami pun memutuskan untuk membawa ibu ke rumah sakit lain saja. Namun ternyata ibu benar-benar sudah tidak kuat menahan sakit hari itu. Kami yang sebelumnya menenangkan ibu agar tidak tegang sampai setidaknya kami nanti sampai Kabupaten Nganjuk, tidak lagi tega melihat rintihan ibu.

Oleh karena itu kami singgah dan menginap di Rumah Sakit Derah Jombang. Ibu diperiksa seperti biasanya. Kami menunggu di luar ruangan IGD seperti biasanya pula, kecuali ayah yang menemani ibu dan sekalian membantu perawatnya mengganti pakaian ibu.
Betapa kami lelah hari itu, sangat lelah. Saya yang duduk di kursi tunggu melihat ibu didorong menggunakan ranjang dorong beberapa saat setelah dokter –yang kelihatannya adalah mahasiswa magang-- memberikan berkas ronsen kepada ayah.

Beberapa hari kemudian ibu diperbolehkan untuk pulang. Kami cukup tenang karena ibu sudah tidak lagi mengeluhkan rasa sakit di perutnya. Hanya saja punggungnya belum membaik dengan sempurna. Kami tahu dari raut wajah ibu yang selalu menyuguhkan semangatnya untuk sembuh namun dihalangi oleh entah bagaimana rasanya punggung Beliau saat itu.

Sesampainya di rumah kami merawat ibu dengan beberapa bekal pengalaman selama berada di 3 rumah sakit berbeda tempo hari. Kami mulai berani membeli alat untuk menyalurkan pipisnya ibu ke kantong, lalu memanggil bidan untuk memasangkannya. Kami mulai meminjam kursi roda kepada saudara kami, mengajak ibu menikmati sejuknya udara subuh sampai hangatnya matahari pagi.

Dari bidan yang membantu kami tadi, kami jadi mengetahui bahwa pemerintah sedang mengadakan program serentak untuk pemberian obat TBC secara gratis. Pengambilan dapat dilakukan di Puskesmas terdekat, jika syarat-syaratnya telah terpenuhi.

Ibu mengonsumi obat pemulihan dari program serentak Pemerintah tersebut selama 6 bulan penuh. Dari pemberian obat itu salah satu dari kami jadi lebih sering googling tentang apa saja kegunaan obat-obat yang diberikan. Kami membuat catatan sederhana untuk menghafalkan urutan peminuman obat untuk ibu.

Ternyata memang tidak boleh sembarangan. Setiap obat mempunyai jam-nya sendiri untuk diminumkan ke ibu. Jarak per jam-nya pun tidak terlalu lama, selang 2 jam setelah meminum obat pada pagi hari ibu baru diperbolehkan untuk sarapan dengan makanan berat.

Selama 6 bulan itu saya, mbak dan adik serta ayah seperti perawat dadakan. Mungkin akan semakin mirip jika mengenakan seragam putih seperti perawat asli. Kami semakin terbiasa membuat bubur dari nasi yang sudah dimasak, mendudukan ibu dari posisi tidur, menggendong ibu dari ranjang tidur ke kursi roda dan menemani Beliau jalan-jalan ketika pagi dan sore hari.

Pengalaman selama enam bulan itu akan selalu melekat erat di benak dan angan kami sekeluarga. Terlebih bagi saya, karena selama enam bulan itu saya juga sedang menjalani serangkaian ujian untuk kelas dua belas. Ibu tak pernah membebani anaknya ketika misalnya hanya untuk mengambilkan minum dari meja disebelah ranjang tidurnya.

Beliau sebisanya membuka gelas dan meminum airnya menggunakan sedotan yang kami sediakan. Jika sedotannya terjatuh atau karena gangguan lainnya, Beliau tidak lekas memanggil putra putrinya yang sedang menggantikan tugasnya di rumah. Beliau menahan haus untuk beberapa saat. Dan segera minum jika kami yang sesekali menengok Beliau di kamar mengetahui hal itu.

Beliau tidak pernah menambah beban kami untuk menuruti kemauannya, yang walaupun kami sendiri tidak pernah merasa terbebani dengan keadaan seperti itu. Beliau tak pernah meminta yang neko-neko, khususnya kepada saya, karena Beliau tahu saya sedang banyak ujian pelajaran di sekolah. Padahal andai ibu tahu, kami menganggap peristiwa itu sebagai ajang untuk birul walidain kepada ibu, kepada ayah.

Kami memang sesekali menangisi keadaan, namun kami segera bangkit kembali jika teringat ibu masih susah untuk duduk sendiri seperti sedia kala. Ibu masih sangat rapuh saat itu, maka kami pun tidak akan pernah menampangkan muka kusut kami di depan ibu.

Almarhum eyang selalu berpesan kala itu, agar selalu mensyukuri apapun yang terjadi. Boleh saja bersedih. Menangis, menjerit, marah pun diperbolehkan kata eyang. Namun eyang tak pernah lupa mengingatkan untuk selalu berbuat sewajarnya saja. Jika sudah selesai menangis dan marah, kembali kumpulkan kekuatan lahir dan batin untuk terus menghadapi masalah dengan tegar dan sabar. Innalloha ma’ash shobiriin.

Dari kejadian 2 tahun itu saya selalu bersyukur dengan kesehatan ibu dan kami sekeluarga sekarang. Kami sangat bersyukur karena Alloh masih memberi kesempatan kepada kami –anak-anak ibu— untuk lebih lama lagi berbakti kepada Beliau.

Terimakasih Ya Alloh. Semoga kita semua diberi kesehatan lahir batin hari ini dan seterusnya. Aamiin.



#OneDayOnePost

eL’s

Kediri, 7 Oktober 2016


Kamis, 06 Oktober 2016

Berbuat Baik Selagi Masih Bisa dan Ada Waktu

Beberapa waktu lalu, ada peristiwa yang menakutkan (menurut saya). Lebih tepatnya mengerikan deh. Saya memang ngeri dan mual kalau melihat orang berdarah-darah. Baik secara langsung maupun melalui media tertentu.

Peristiwa itu adalah kecelakaan mobil dan motor yang terjadi di jalan raya depan rumahku tempo hari. Mobil yang dikendarai oleh seorang pedagang kerupuk mentah atau biasa disebut krecek itu melaju kencang sekali dari arah timur menurut saksi yang melihat langsung. Sedangkan dari arah berlawanan (barat) melaju pula 3 motor.

Motor yang paling depan adalah motor bebek lawas yang dikendarai oleh lelaki setengah baya dan membonceng lelaki tua. Sisanya, artinya 2 motor yang lain dikendarai oleh seorang wanita yang masing-masing mengendarai motor sendirian. Salah satu dari wanita itu diketahui sedang dalam masa kehamilan (usia kehamilannya 6 bulan).

Mobil yang melaju ke arah barat itu melewati pembatas jalan dan menerjang 3 motor yang berlawanan arah dengannya lalu masuk bersamaan kedalam sungai depan rumah. Tragis sodara-sodara, dalam kejadian tersebut menewaskan dua orang seketika, sedangkan yang lain luka parah. Korban meninggal adalah 2 orang lelaki yang berboncengan tadi. Sedangkan korban luka parah segera dilarikan ke RS terdekat.

Saya yang saat kejadian terjadi sedang bersiap-siap keluar rumah dan mengeluarkan motor dari teras rumah. Saya benar-benar terkejut tidak karuan, lalu melihat kejadian tersebut dari tempat saya berdiri, yaa kira-kira 100 meter dari TKP. MasyaAlloh, saya lemas di tempat melihat seorang ibu separuh baya yang oleh orang-orang sekitar TKP diusahakan agar keluar dari mobil.

Saya lebih lemas gak karuan saat melihat jasat dari korban tewas yang diangkat dari sungai bersimbah darah dari kepala sampai kakinya, namun hanya disebelha kanan saja. Tidak hanya lemas namun juga mual melihatnya langsung. Sementara orang-orang di sekitar TKP berlarian, ada yang mencarikan air untuk diminum oleh korban, ada yang lari ke kakntor polisi (rumah saya dekat dengan kantor polisi, kira-kira 250 meteran), ada pula yang ngeri seperti saya kemudian kembali ke tempat semula.

Selan peristiwa itu, Eyang saya baru saja meninggalkan keluarga tercintanya. Beliau berpulang ke hadirat Alloh yang lebih menyayanginya. Eyang meninggal setelah selama 4 hari menjalani pengobatan di Rumah Sakit Swasta di daerah Pare, Kediri.

Sebagian tubuh eyang mengalami stroke, namun Beliau sudah tidak mampu membuka mata dan mulutnya untuk berkomunikasi dengan anak, suami dan cucu-cucunya. Beliau sudah tidak sadarkan diri ketika masih berada di rumah dan begitu pula saat berada di RS. Beliau mengalami koma selama 4 hari dan meninggalkan kami sekeluarga.

Kira-kira pukul 00.15, pada hari Senin tanggal 5 September 2016 atau dalam tahun Hijriyah adalah 3 Dzulhijjah 1437 H, , eyang menghelakan nafasnya yang terakhir. Beliau meninggalkan suami, 5 orang anak dan mantu, 15 cucu, 6 cicit.

Saya sempat terkenang apa yang Beliau wejangkan kepada saya pada hari raya kemarin. Beliau memeluk dan membisikkan suaranya yang tua namun bersahaja itu dengan sangat pelan dan diulang-ulang. Saya menduduk dan selalu mengiyakan yang Beliau katakan. Terimakasih eyang, saya paham dan pasti saya lakukan pesan panjenengan itu, pasti.

Tak lama setelah berpulangnya eyang, saya dan adekku mengalami kecelakaan motor. Tepatnya pada hari Sabtu tanggal 10 September 2016, dan hari itu adalah malam ke-7 setelah eyang meninggal.Saya bersyukur masih diberi umur panjang dan kesehatan setelah mengalami kejadian tersebut. Begitu pula adekku, dia hanya mengalami pegal-pegal di tubuhnya serta lecet di beberapa tangan dan kaki. Hanya saja, kami mengalami kerugian yang cukup banyak untuk membenahi motor yang saya gunakan.

Serangkaian peristiwa yang saya alami membuat saya terpikit tentang sesuatu. Yang pikiran itu muncul ketika saya sedang merenung menjelang tidur malam.

Saya takut ketika diri ini belum sempat memberi manfaat untuk orang lain, membantu atau setidaknya membuat orang lain tersenyum tulus pada saya, Tuhan menetapkan waktu saya. Memendekan waktu ibadah saya, lalu memanggil saya menghadapNya. Betapa hal itu selalu terngiang ketika malam.

Saya takut tidak membawa satu amalan pun ketika menghadapNya, karena masih sering tidak ikhlas, masih sering melakukan sesuatu hanya untuk disenangi orang lain sedangkan apakah Tuhanku menyukainya, masih sering tutup mata dan telinga ketika yang lain mengalami kesusahan, masih sering dendam dan masih sering lainnya yang keluar dari garis peraturanNya. Padahal saya sudah diingatkan dengan berbagai peristiwa yang terjadi disekitar saya. Maafkan saya Gustiii!

Saya masih ingat pada secarik kalimat yang berasal dari buku perpustakaan saat masih Aliyah dulu. Begini kalimatnya “berbuatlah baik sesegera mungkin, selagi masih bisa dan ada waktu”. Iyap. Saya saat itu belum tersentuh dengan kekuatan kalimat ini. Namun semakin kesini, saya rasa memang benar, lakukanlah kebaikan sebanyak mungkin dalam waku sesegera yang kita bisa.

Hm. Yaa Tuhan kami, tolonglah kami dalam membenahi akhlak dan tindakan. Semoga Tuhan selalu merahmati dan mengampuni kita. Aamiin. 


#OneDayOnePost

eL’s

Kediri, 6 Oktober 2016